Pengalaman pahit di masa lalu terkait dengan lepasnya dua pulau kecil terluar Negara Indonesia yang berbatasan dengan Negara Malaysia, yaitu Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui keputusan Mahkamah Internasional tertanggal 17 Desember 2002 (Kompasiana, 2011). Peristiwa ini menunjukkan sebuah kegagalan pemerintah pusat dalam memperhatikan ataupun mengelola pulau kecil terluar di wilayahnya. Buktinya seperti yang dijelaskan oleh Dit. PPK (2008) mengungkapkan bahwa Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan akhir mengenai status kedua pulau tersebut, segala materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara tidak digunakan, melainkan memakai pembuktian lain yaitu continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation. Keempat kriteria ini merupakan suatu bentuk riil dari pengelolaan pulau melalui pembangunan.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kedua pulau tersebut, menyebabkan terlepasnya kedua pulau itu ke pangkuan Negara Malaysia. Dan konsekuensinya semakin berkurangnya wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta hilangnya potensi sumberdaya alam yang bisa di eksplorasi oleh pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur pada waktu itu (sekarang masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Utara).
Pengelolaan pulau-pulau melalui pembangunan tidak hanya sebatas penyediaan infrastruktur saja, namun juga perlu penyelenggaraan fungsi administrasi, pendayagunaan serta pendataan pulau-pulau yang ada di wilayah NKRI melalui pelaksanaan toponim pulau. Sehingga akan dapat meredam negative issue serta preventifisasi terhadap terulangnya kejadian kelam di masa lampau mengenai dinamika eksistensi pulau, seperti contoh peristiwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tersebut di atas. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah karena apa yang menjadi sifat dari tujuan terbentuknya sebuah negara tercapai. Seperti yang diungkapkan oleh Siagian (2005) bahwa wahana dan mekanisme terbaik yang dimiliki oleh suatu negara bangsa untuk mencapainya (tujuan) ialah dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan.
Sesungguhnya kegiatan toponim pulau di Indonesia sudah relatif lama telah digagas untuk dilaksanakan. Toponim pulau sudah dimulai sejak tahun 1993, yaitu melalui SK Mendagri No. 119.05-274/1993, tentang Pembentukan Panitia Tetap Nasional Toponim. Hampir tiap 2 (dua) tahun SK Mendagri tersebut diperbaharui, dan terakhir adalah SK Mendagri dan OTDA No. 106-98/2001, tentang Pembentukan Tim Fasilitasi Pemberian dan Pembakuan Nama Unsur Geografis.
Pada perkembangannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan memandang masalah penamaan pulau memiliki peran strategis dan penting, karena masalah pengelolaan pulau di Indonesia merupakan salah satu mandat rakyat yang dipikul oleh kementerian ini serta dalam rangka tertib administrasi terkait dengan daftar nama pulau di Indonesia. Maka pada tahun 2004 melalui DPR, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan kepercayaan kepada Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, untuk menyelenggarakan kegiatan toponim pulau tersebut.
Menindaklanjuti hal tersebut di atas, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2004 mengeluarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 79/Men/SJ/2004 sebagai payung hukum dalam terbentuknya Tim Toponim Pulau. Dimana di dalam Surat Keputusan ini menyebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Ketua Tim Toponim Pulau, yang beranggotakan : Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Dishidros TNI-AL dan Bakosurtanal (BIG).
Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 79/Men/SJ/2004 merupakan langkah hukum yang memberikan ruang gerak bagi pelaksana teknis kegiatan toponim pulau di lapangan. Sehingga untuk menyempurnakan keseluruhan dari mekanisme toponim pulau atau pembakuan nama pulau, maka pada tahun 2006 dikeluarkan Perpres No. 112 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupa Bumi. Dimana tim ini salah satu tugasnya memverifikasi dan atau membakukan nama rupa bumi di Indonesia, termasuk nama pulau.
Kegiatan toponim pulau yang merupakan upaya membakukan nama salah satu unsur rupabumi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang perlu dilakukan karena merujuk pada Perpres No. 112 Tahun 2006 Pasal 3 menyebutkan bahwa pembakuan nama rupabumi bertujuan untuk :
- Mewujudkan tertib administrasi di bidang pembakuan nama rupabumi di Indonesia;
- Menjamin tertib administrasi wilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Mewujudkan adanya gasetir nasional sehingga ada kesamaan pengertian mengenai nama rupabumi di Indonesia;
- Mewujudkan data dan informasi akurat mengenai nama rupabumi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun internasional.
Mencermati dan memahami uraian pasal 3 di atas, terkait dengan pembakuan nama pulau bahwa secara institusional toponim pulau di Indonesia memberikan important value secara administratif karena :
- Berguna untuk tertib administrasi Pemerintahan;
- Sebagai data dan informasi dasar serta wujud dari pengelolaan pulau itu sendiri;
- Secara tidak langsung memberikan penegasan keberadaan pulau terluar dalam wilayah negara sebagai titik dasar penarikan garis pangkal dan batas wilayah NKRI;
- Mengeleminir terjadinya konflik antar wilayah maupun negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kegiatan toponim pulau yang telah dilaksanakan pada range waktu Tahun Anggaran 2005 – 2008 disamping sebagai langkah atau upaya mewujudkan tertib administrasi juga mampu memberikan data serta informasi dasar mengenai nama-nama pulau di Indonesia yang secara keseluruhan tertuang di dalam produk akhirnya, yaitu gasetir pulau di Indonesia. Maka dengan telah tersusunnya gasetir pulau, Negara Indonesia memiliki hak dan kesempatan untuk mendaftarkan ataupun melaporkan secara administrative kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui UN Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) dan UN Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). Sehingga terlebih secara efek domino juga akan mengantisipasi terulangnya kejadian seperti peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke Negara Malaysia.
Definisi Toponim Pulau
Mengetahui dan memahami pengertian ataupun definisi dari arti kata toponim pulau sangatlah penting, karena hal ini akan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kegiatan tersebut. Sehingga publik maupun stakeholders terkait yang awan akan hal tersebut akan mampu memberikan apresiasi yang sepantasnya terhadap output dari kegiatan toponim pulau serta mempergunakannya sesuai dengan porsi dari kepentingan yang diembannya. Hal ini sangat perlu ditegaskan karena agar tidak salah kaprah dalam menterjemahkan manfaat output dari toponim pulau.
- Definisi Toponim
Toponim merupakan kata yang berdasarkan bahasa Yunani terdiri dari dua kata, yaitu : topos dan nym (nim). Kata topos memiliki pengertian permukaan sedangkan nym berarti nama. Maka toponim adalah penamaan unsur dari geografi atau topografi. Sedangkan toponimi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai penamaan unsur geografi atau nama geografis (Rais, 2007). Dimana yang dimaksud dari unsur geografis yaitu unsur buatan, unsur alam dan unsur administratif.
- Definisi Pulau
UNCLOS 1982 (UN Convention on the Law of the Sea) artikel 121 menyebutkan bahwa : “An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide”. Terdapat 4 (empat) persyaratan ketika suatu unsur bumi dikatakan sebuah pulau, antara lain :
- Ada area lahan daratan (land bukan soil);
- Terbentuk secara alami, bukan hasil reklamasi;
- Dikelilingi oleh air (tawar atau asin);
- Selalu berada di atas pasut tinggi (air pasang).
Merujuk pada hal-hal tersebut di atas, maka pulau dapat dipahami sebagai unsur bumi yang masiv terbentuk secara alami, dimana daratannya selalu dikelilingi air (laut/tawar) serta tidak tenggelam ketika pasang tertinggi.
Dengan demikian, dapat kita pahami bersama bahwa toponim pulau adalah merupakan kegiatan yang bermaksud memberikan dan atau membakukan nama pulau yang berada pada region atau wilayah tertentu, baik yang dikelilingi oleh perairan laut maupun air tawar (sungai dan danau alami). Maka berawal dari pemahaman toponim pulau ini, output yang dihasilkan melalui pelaksanaan kegiatan tersebut yaitu sebuah daftar nama pulau pada region/wilayah tertentu. Atau dengan kata lain adalah gasetir pulau.
Berkenaan dengan hal-hal yang telah dipaparkan pada paragraph-paragraf sebelumnya, toponim pulau di Indonesia pada dasarnya goal yang dicapai hanyalah sebatas tersusunnya gasetir pulau saja. Sehingga data dan informasi pulau yang terkandung di dalamnya masihlah bersifat dasar sekali, yaitu berupa nama dan letak geografis serta administrasi saja. Kalaupun ada tambahan informasi lainnya, hanyalah keterangan umum terkait apakah pulau tersebut berpenduduk atau tidak. Maka dapat dipastikan, para stakeholders terkait masih memerlukan upaya tindak lanjut berupaya identifikasi potensi pulau apabila ingin mengambil suatu kebijakan, keputusan maupun perencanaan dalam mendayagunakan pulau-pulau di Indonesia.
REFERENSI
Dit. PPK, 2008. Toponimi Di Indonesia. Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
Rais, Jacob, 2006. Pentingnya Pembakuan Toponim dan Peranan PBB Kasus Penamaan Pulau-pulau di Indonesia. Materi Disampaikan Dalam Sosialisasi dan Workshop Penamaan Pulau-pulau di Indonesia. Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
Siagian, Sondang P., 2005. Administrasi Pembangunan. Bumi Aksara. Jakarta.
Kompasiana, 2011. Lepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan Daari NKRI. Di-posting 16 Oktober 2011. Sugiharto Harto. www.hankam.kompasiana.com.
0 Komentar